Jumat, 08 April 2011

[edisi papa] Puisi Jangkrik


Pagi menjelang siang tadi, terinpirasi dari comment sahabatku pada status yang baru saja ku update (sebait puisi jaman sekolah dari buku diary masa remaja hehehe)
comment sahabat ku waktu itu : "
jadi teteh sejak dulu dah jadi kahlil gibran muda ya? teteh anaknya siapa sih?"

Sering sekali orang menyangkut pautkan nasab untuk sebuah tingkah pola yang kita lakukan, pertanyaan yang tampak klise namun sangat alami di ucapkan siapa pun.
Teringat sebuah pepatah

"buah jatuh tak jauh dari pohonnya"

Sangat sejalan dengan hadits berabad-abad lalu (subhanallah sungguh ilmu Mu tak pernah usang)

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. kedua orang tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi.” (Hr.Bukhari)

Pantaslah kiranya bila surga berada di telapak kaki ibu, pantaslah kiranya bila seorang ayah diberi tahta sebagai seorang imam. Karena di pundak mereka dititipkan tanggungjawab mendidik para khalifah (kenapa jadi serius begini hehe). 
Masih terinspirasi dari comment sobat ku tadi,  aku jadi teringat beruntungnya berada di antara dua kutub ini, mama ku yang “EINSTEIN” dan papa ku yang GIBRAN. Perpaduan yang unik. Tapi kalau liat nilai raport ku, sepertinya GIBRAN lebih mendominasi susunan kromosomku. kali ini izinkan aku berbagi sebuah drama pagi antara aku (kelas 3 SD ketika itu) dan papa ku yang GIBRAN itu.

Aku ketiduran menunggu papa pulang, aku tak tau bagaimana caranya membuat puisi, beberapa contoh puisi dari setumpuk koran bekas terbitan hari minggu sudah disodorkan mama kepada ku, aku pening membacanya tak mengerti,. salah satu penggalan puisi membuat ku berpikir cukup keras ;

pucuk-pucuk cemara merayu rayu bulan yang kesepian
karena bintang yang di undang tak juga datang

Bagaimana mungkin pucuk cemara bisa sampai ke bulan, dan untuk apa dia merayu bulan memangnya tak ada pohon yang cantik di bumi ini (tapi di pikir-pikir semua pohon wajahnya mirip semua, pastilah karena bingung dia lebih memilih ngecengin bulanhehe) kira-kira mereka akan bicara dengan bahasa apa, bahasa pohon atau bahasa ruang angkasa, bagaimana pula kalau bintang tiba-tiba datang membawa rombongan pastilah cemara itu akan dihajar habis-habisan karena telah berani mengganggu bulan. akhirnya aku malah beneran terbang ke bulan zzzzz...tidur kehilangan kesadaran. Tapi itu setelah mama berjanji sepulang papa kerja (biasanya papa pulang kerja selalu lewat tengah malam, maklum wartawan), mama akan minta papa buatin puisi yang bagus kl mmg aku merasa puisi-puisi dari koran itu tak cukup layak untuk ku jadikan bahan PR anak kelas 3 SD (sombongnya…anak kecil ini)

Bangun pagi aku langsung menghampiri mama yang seperti biasa sibuk beraksi di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya yang lebih dari setengah lusin. Nasi goreng dan teh susu.
“ma dimana buku bahasa indonesianya, papa udah buatin contoh puisinya ?”
“sudah, itu ada di atas tivi” jawab mama sambil menuangkan teh susu ke gelas-gelas belimbing seperti biasa ada 7 gelas (saat itu kami masih ber 7 sekarang sudah ber 9 hehehe)

Gelap, selimut agung sang malam
Malam hening tanpa bulan
Sesaat semua hanya berupa bayangan
Semua diam
Hanya nyanyian jangkring yang berdendang
Dendang lagu kesunyian

“yah mama ini sama aja kayak yang di koran, ada jangkrik jangkrik nya lagi, ina ga ngerti nih” kata ku lemas sambil memandangi secarik kertas tulisan tangan papa. 
Biasanya aku paling suka memandangi tulisan papa, tulisan tegak bersambung (khas tulisan orang tempo doeloe), menurutku tulisan papa sangat berwibawa, tiap melihatnya hati ku merasa teduh. Dan yang paling ku suka adalah tulisan papa di surat izin tidak masuk sekolah, olalala senangnya. Tapi kali ini aku sedang kesal melihatnya, tanpa sadar kertas itu telah kuremas-remas gemas.

Mama yang mulai bingung dengan tingkah anaknya yang sok pintar dan tak tau terima kasih ini, bergegas ke kamar membangunkan papa yang mungkin baru menikmati seperlima dari mimpinya. Dengan langkah terseret seret, satu tangannya menggulung sarung tidurnya, sebelah tangan lagi mengucek-ngucek matanya.

“contoh puisinya yang papa buatin tadi malam kata mama salah? Apanya yang salah ?” mata papa masih setengah tertutup, atau setengah terbuka.
“ini bukan puisi” beeuuhhh gaya ku dah kayak kritikus sastra aja
“hah ??!!” mata papa yang setengah terbuka skrg terbuka sempurna, tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Bertahun tahun menjadi wartawan yang walau hanya berkelas daerah tapi membuat puisi bukanlah hal yang sulit baginya, apalagi hanya sebuah puisi untuk anak kelas 3 SD. Apa yang salah, temanya sudah sesuai, rimanya sudah sangat iya pertimbangkan. 

“contoh yang dikasih bu guru kata-katanya itu lucu..kayak yang di lagu anak-anak itu pa” jelas ku terbata-bata dengan wajah berlipat-lipat cemberut, lebih kusut dari sarung tidur papa.
“lagu yang mana ?” sambar papa cepat terlihat antusias karena semakin cepat papa memahami mau ku, semakin cepat drama ini diselesaikan dan papa bisa melanjutkan 80% dari tidurnya yang tertunda.
“itu lagu yang…hmm.. sana gunung sini gunung tengah tengah buah kebembem saya bingung semua bingung liat kamu pipinya tembeb” aku berusaha bernyanyi tapi dengan wajah ditekuk kencang lagu itu lebih mirip gumaman yang datar.
“ooo… hahahaha… hahaha… ohh  nang ku.. nang ku…” papa tiba-tiba tertawa lebar sambil mengacak acak rambut ku (*nang, panggilan sayang khas batak artinya semacam “nak”)

Aku terheran heran, sambil berkata dalam hati “memangnya aku bilang apa tadi, bukan nya aku sudah bilang aku minta dibuatkan contoh “puisi”, memangnya ada berapa macam pusi sih?” tanyaku kesal dalam hati
“itu namanya pantun nang… bukan puisi…” seperti menemukan jalan atas kebuntuannya wajah papa mendadak merona lega se-lega matahari yang akhirnya diperkenankan terbit di timur rumah ku.
Aku diam…
Diam…
Dan diam…
[malu] 
Uugghh bodohnya aku, tentu saja itu namanya pantun, bukankah aku sudah mendapatkan sedikit pengantarnya di kelas 2 SD puisi tentang sawah yang menguning dan gunung yang kebiru biruan. Ya, harusnya aku minta dibuatkan pantun, bukan puisi, malunya aku. Sepertinya kemarin siang aku terlalu bersemangat bergegas pulang, karena aku ada janji untuk pergi ke ulang tahun tetangga ku yang punya rumah gedong dan kolam ikan yang bertebaran bunga teratai, susah sekarang mencari bunga cantik itu.  Yah..ya pasti karena terburu – buru aku jadi salah mengingat.  
Tak lebih dari 3 menit papa menyelesaikan pantunnya, cepat sekali dan mudah sekali ternyata buat papa, tentu saja papa  wartawan malang melintang antara warung kopi, kantor pengadilan dan kantor polisi. Apa susahnya bagi papa wartawan malang melintang yang pantang pulang sebelum terang. Kekonyolankulah yang membuatnya mengerutkan dahi.

“Ini pantunya tuan putri, sekarang sisirlah rambutnya, papa antar ke sekolah” kembali mengacak acak rambutku papa beranjak memanaskan motor pinjamannya (ah terbebaslah aku dari mendaki gunung lewati lembah walau hanya perginya saja). Dan yang pasti pe er ku selesai dan terbebas dari ketakutan di strap di depan kelas. Walau harus menanggung malu di depan papa ku.

Setelah membaca pantun dari papa, ah… ternyata puisi jangkrik papa lebih indah dari pantun ini, diam-diam kurapikan kembali kertas puisi yang sempat ku remas remas gemas tadi. Kubaca, sekali, lalu berkali kali, berulang kali sampai aku jatuh cinta, dan terus cinta sampai ke hati pada puisi.

Aku pun belajar, kadang ketidaktahuan membuat kita lebih keras kepala, jumud. Pantaslah orang berilmu diberi derajat lebih tinggi, karena orang berilmu tak akan mendebatkan hal yang tak penting yang tidak dia ketahui dan orang berilmu tidak akan mendebat wartawan malang melintang tentang puisi anak kelas 3 SD hahaha. 

Sepertinya belasan tahun lalu belum sempat ku ucapkan terima kasih atas sebait  puisi jangkrik mu.  Terima kasih pa.
"gen ini, berkah terindah dari Nya, lewat mu, untuk ku" 
I love you.




2 komentar:

  1. bagus mbak...ditunggu follow backnya yaaa....
    http://monggopinarak-miracle.blogspot.com/ dan ini... http://nickzone-miracle.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. ha..ha...ha...ngakak ngebacanya...wah...boleh lah minta dibuatin pantun teh untuk aku...ha..

    BalasHapus